Beban mental yang tidak terlihat itu membuat anak sulit menyerap pelajaran. Bahkan ada yang tidak bisa menyampaikan bahwa ia sedang merasa takut, sedih, atau bingung karena kondisi rumah tangga
Oleh: Iqbla Pri Rachmayadi, M.Pd – Kepala Sekolah SD Wahdah Islamic School Balikpapan
Balikpapan – Dalam dunia pendidikan, aspek yang paling sering menjadi sorotan adalah kualitas pengajaran, prestasi siswa, dan kurikulum. Namun ada satu hal yang sering luput dari perhatian: kesehatan mental, baik bagi guru maupun siswa. Padahal, ini adalah pondasi penting yang memengaruhi keberhasilan proses belajar-mengajar secara menyeluruh.
Kesehatan mental tidak selalu tampak seperti luka fisik. Seorang guru bisa saja terlihat ceria di kelas, padahal menyimpan beban berat dalam hati. Pernah kami mendengar kisah nyata dari seorang guru yang tetap berusaha tampil menyenangkan di hadapan murid-muridnya, meski di balik senyumnya ia sedang menghadapi ujian berat: kontrakan belum terbayar, beras habis, dan listrik hampir padam. Namun ia tetap memilih untuk mencerahkan suasana kelas, demi tanggung jawab profesional dan rasa cinta kepada anak didiknya.
Ketika Guru Menyimpan Luka
Kondisi seperti ini bukanlah hal langka. Banyak guru yang memilih memendam masalah pribadi demi menjaga citra dan profesionalisme. Mereka takut dianggap mencari perhatian jika berbicara. Namun yang perlu disadari adalah ketika masalah tidak dikelola dengan baik, maka bukan hanya guru yang terdampak murid pun ikut merasakannya. Pengajaran menjadi kurang maksimal, emosi mudah meledak, dan anak-anak bisa menjadi sasaran pelampiasan stres yang tidak seharusnya.
Guru yang tidak stabil secara emosional cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, enggan berdiskusi, bahkan kehilangan semangat. Padahal, peran guru bukan sekadar menyampaikan materi, tapi juga menjadi teladan, motivator, dan pelindung psikologis bagi siswa.
Anak-Anak pun Tidak Luput dari Masalah Mental
Siswa terutama usia SD belum mampu memahami dan mengekspresikan perasaan mereka dengan baik. Saat menghadapi konflik keluarga seperti perceraian orang tua, pertengkaran di rumah, atau kurangnya perhatian, mereka cenderung menunjukkan perilaku "tidak biasa". Yang awalnya pendiam bisa menjadi agresif, suka mengganggu teman, atau sebaliknya menjadi sangat tertutup dan tidak fokus di kelas.
Beban mental yang tidak terlihat itu membuat anak sulit menyerap pelajaran. Bahkan ada yang tidak bisa menyampaikan bahwa ia sedang merasa takut, sedih, atau bingung karena kondisi rumah tangga. Akhirnya, performa akademik terganggu dan anak berisiko dicap "tidak mampu", padahal masalah utamanya bukan di intelektualitas, tapi pada kondisi psikologisnya.
Upaya Sekolah: Mewujudkan Pendidikan Holistik
SD Wahdah Islamic School Balikpapan menyadari bahwa pendidikan harus menyentuh aspek ruhiyah, psikologis, dan sosial secara seimbang. Untuk itu, kami menerapkan beberapa pendekatan strategis, seperti:
Program Penguatan Ruhiyah Orang Tua Setiap bulan, sekolah mengadakan pengajian online bersama orang tua murid. Ini menjadi media spiritual recharge yang penting agar pendidikan anak di rumah dan sekolah sejalan.
Batasan dan Pendampingan Penggunaan Gadget Sekolah mendorong adanya batas waktu penggunaan gadget di rumah dengan pengawasan yang ketat. Tanpa pendampingan, anak-anak rentan mengakses konten yang tidak sesuai usia dan bisa memengaruhi kesehatan mental mereka.
Penerapan Pembelajaran Diferensiatif dan Observasi Individual Setiap anak memiliki latar belakang yang unik. Maka, guru dituntut untuk memahami kebutuhan masing-masing siswa, termasuk melalui observasi mendalam terhadap perilaku yang menyimpang dari biasanya.
Kolaborasi Sekolah-Orang Tua dalam Kasus Khusus Bila ditemukan indikasi gangguan psikologis atau kebutuhan khusus (ABK), pihak sekolah akan memanggil orang tua untuk duduk bersama mencari solusi terbaik. Jika perlu, anak akan diarahkan untuk menjalani pemeriksaan profesional sejak dini, sebagai bentuk pencegahan yang bijak.
Menjadi Guru dan Orang Tua yang Tanggap
Dunia anak adalah dunia yang lembut dan peka. Ketika mereka kehilangan perhatian atau merasa lingkungan tidak mendukung, mereka akan mencari "cara lain" untuk menunjukkan bahwa mereka butuh didengar. Di sinilah pentingnya sinergi antara guru dan orang tua. Tanpa kerja sama, anak bisa menjadi korban situasi yang semestinya bisa dicegah sejak awal.
Di tengah kompleksitas zaman, guru bukan hanya pendidik, tapi juga penjaga keseimbangan jiwa anak. Dan orang tua bukan hanya penanggung jawab kebutuhan fisik anak, tapi juga penjaga kondisi mental mereka di rumah. Ketika kedua pilar ini bersatu, maka lahirlah generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga kuat secara mental dan kokoh dalam kepribadian.
Semoga Allah SWT memberikan kita kekuatan, kejernihan hati, dan kelapangan dada dalam mendidik serta membersamai tumbuh kembang anak-anak kita. Wallahu a’lam.
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan refleksi dan arahan kebijakan pendidikan berbasis spiritual dan psikologis dari Kepala SD Wahdah Islamic School Balikpapan. Tulisan ini ditujukan untuk mengedukasi masyarakat luas, khususnya orang tua dan pendidik, agar lebih peduli terhadap aspek kesehatan mental dalam dunia pendidikan.