Ketika Kampus Tak Lagi Cukup, Prof. Euis Gagas Gerakan Keluarga melalui Penggiat Keluarga Indonesia

Ketika Kampus Tak Lagi Cukup, Prof. Euis Gagas Gerakan Keluarga melalui Penggiat Keluarga Indonesia

Prof Euis : "GiGa dibentuk sebagai gerakan inklusif terbuka bagi siapa saja pakar, praktisi, penggerak komunitas, maupun masyarakat umum, punya niat jaga keluarga Indonesia"

Oleh : Anwar Aras


GiGa : Perkumpulan Penggiat Keluarga Indonesia yaitu wadah berhimpunnya atau berjejaringnya para pihak (ahli, praktisi, peminat, dan pemerhati pembangunan keluarga) yang peduli dan ingin berpartisipasi dalam pembangunan keluarga.


MAKASSAR  – Dari keresahan atas maraknya kekerasan dan penyimpangan yang terjadi di lingkungan keluarga, lahirlah sebuah gerakan yang kini telah tumbuh menjadi salah satu inisiatif sosial paling aktif dalam isu ketahanan keluarga di Indonesia. Gerakan tersebut adalah GiGa Penggiat Keluarga Indonesia.  Gerakan Indonesia Jaga dan lindungi Keluarga agar jadi tempat nyaman dan aman, yang digagas oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si, Guru Besar IPB University bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga.

Dalam perbincangan dengan tim media usai berikan pelatihan Manajemen Risiko Bencana Sosial (MRBS) bekerjasama dengan Yayasan Pesantren Wahdah Islamiyah (YPWI). di Makassar, Prof. Euis menceritakan asal-muasal berdirinya GiGa.

“GiGa lahir  tahun 2014, saat bermunculan kasus-kasus kriminalitas,  bahkan yang pelakunya anak-anak. Saya sangat ingat kasus anak SD yang merojok vagina temannya dengan gagang sapu hingga meninggal dunia. Itu membuat saya terguncang,” ujarnya.

Menurut Prof. Euis, kasus-kasus serupa terjadi berulang. Anak-anak yang menjadi pelaku sebenarnya juga adalah korban dari keluarga yang rapuh, dari lingkungan yang abai. Hal itu menandai adanya gejala serius.

Keluarga: Pondasi yang Retak

Kondisi tersebut mendorong Prof. Euis untuk bertindak. Sebagai dosen di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) IPB University --satu-satunya departemen di Indonesia yang fokus pada studi keluarga, ia menyadari bahwa perubahan besar tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah atau akademisi. Harus ada gerakan dari masyarakat.

“Jumlah penduduk saat itu 266 juta (66 juta keluarga). Jumlah yg besar, sehinggp pemerintah tidak bisa jalan sendirian membangun keluarga. Kami di kampus juga terbatas. Maka saya pikir harus ada wadah yang bisa merangkul semua pihak yang peduli keluarga, meskipun sebelumnya bergerak sendiri-sendiri,” jelasnya.

Dengan semangat itu, GiGa dibentuk sebagai gerakan inklusif yang terbuka bagi siapa saja pakar, praktisi, penggerak komunitas, maupun masyarakat umum  selama punya niat untuk menjaga keluarga Indonesia.

Mengusung Percepatan, Inovasi, dan Kolaborasi

GiGa tidak hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga pusat inovasi sosial. Salah satu ciri khasnya adalah penggunaan hasil riset dan akademik yang langsung diimplementasikan dalam program nyata di masyarakat.

“Kami mengembangkan model seperti Kampung Ramah Keluarga, Family Crisis Center, hingga aplikasi FamLink  untuk edukasi ketahanan keluarga di Android,” kata Prof. Euis. “Banyak progrm GiGa itu lahir dari riset keluarga di IPB.”

GiGa juga tidak membentuk struktur kaku seperti organisasi formal. Sebaliknya, ia bergerak dinamis melalui gugus tugas (GT) tematik yang sekarang  berjumlah 10 GT, di antaranya: GT DIRGa (Data, Informasi Riset):  GT eRTeKa (Relawan Titian Kebaikan), GT Giga Berdaya, GT Rumah Hiknah GiGa, GT GiGa Media, GT  GiGa Muda, GT Derap GiGa, GT Sumber Daya, GT kolaborasi dan jejaring Internasional, GT Bengkel Kreativitas,  yang kini berjumlah lebih dari 400 orang.

Gerakan Rakyat yang Tumbuh Organik

GiGa berkembang secara organik. Banyak anggotanya adalah individu-individu dari berbagai daerah yang membawa misi GiGa ke komunitas masing-masing. Meski keanggotaannya bersifat individu, mereka tetap diberi ruang untuk berkontribusi sesuai kapasitasnya.

“Di GiGa, kontribusi bisa one-off, tidak masalah kalau mau off sementara karena tugas atau keluarga. Nanti bisa on lagi. Yang penting tetap ada semangat kontribusi,” ungkapnya.

Gerakan ini juga dikenal hemat sumber daya tapi produktif. Dalam banyak kesempatan, GiGa menghindari rapat-rapat fisik yang menguras waktu dan biaya, dan lebih mengandalkan efektivitas kerja berbasis data, teknologi, dan jejaring.

10 Tahun GiGa: Masih Ada yang Belum Tersorot

Kini, setelah satu dekade berjalan, GiGa telah menciptakan banyak inovasi sosial dan praktik baik dalam membangun ketahanan keluarga. Namun Prof. Euis mengakui, belum banyak pihak yang benar-benar mengangkat kiprah GiGa sebagai gerakan masyarakat yang lahir dari akar rumput, tetapi membawa dampak nasional.

“Kami bukan kekurangan ide, justru kebanyakan ide. Tinggal bagaimana kita mengeksekusinya satu per satu dengan sumber daya yang terbatas,” tuturnya.

Ia juga membuka kesempatan bagi masyarakat umum yang ingin bergabung atau belajar bersama GiGa. “Silakan. Kami sangat welcome. Yang penting mau bergerak untuk keluarga Indonesia,” pungkasnya.

GiGa hadir bukan hanya sebagai organisasi, tapi sebagai semangat.  Semangat menjaga keluarga tetap menjadi tempat paling aman, tempat pertama dan utama membentuk manusia yang berdaya dan beradab. Dari Bogor, kini GiGa menjangkau seluruh pelosok negeri, menggerakkan hati demi masa depan generasi Indonesia. 

pembaca yang ingin mengetahui seputar profil dan aktifitas GiGa dapat mengunjungi website di : https://www.penggiatkeluarga.org/

Sebelumnya :